AnimasiInteraktif Kesenian Dan Kebudayaan Untuk SD (Linda Sari Dewi)|144 ANIMASI INTERAKTIF KESENIAN DAN KEBUDAYAAN JAWA BARAT UNTUK SEKOLAH DASAR Linda Sari Dewi, Ester Arisawati, Erene Gernaria Sihombing Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer Nusa Mandiri (STMIK Nusa Mandiri) Jl. Kramat Raya No.18 Jakarta Pusat
Apakah Anda mencari gambar tentang Animasi Kebudayaan Indonesia? Terdapat 50 Koleksi Gambar berkaitan dengan Animasi Kebudayaan Indonesia, File yang di unggah terdiri dari berbagai macam ukuran dan cocok digunakan untuk Desktop PC, Tablet, Ipad, Iphone, Android dan Lainnya. Silahkan lihat koleksi gambar lainnya dibawah ini untuk menemukan gambar yang sesuai dengan kebutuhan anda. Lisensi GambarGambar bebas untuk digunakan digunakan secara komersil dan diperlukan atribusi dan retribusi. Tri Surantono, S.Sn. UNTUK . SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN SENI RUPA . Kelas XI, Semester 1 . Tri Surantono, S.Sn. Dalam perjalanannya, animasi buatan studio-studio di Indonesia banyak sekali yang mengangkat tema-tema budaya lokal baik berupa tema-tema budaya tradisional, cerita rakyat, maupun tema-tema modern yang dikombinasikan dengan tema tradisional. Pada penelitian ini akan mengupas perjalanan animasi lokal indonesia pada awal kemunculannya 1955 hingga tahun 2017 dan bagaimana budaya lokal direpresentasikan kedalam karya tersebut. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan metode analisi isi yang digunakan untuk membongkar unsur-unsur budaya apa saja yang banyak dimasukkan oleh para kreator animasi lokal Indonesia. Hasil yang didapatkan adalah pemilihan tema-tema mengenai budaya lokal tersebut tidak lepas dari kebiasaan-kebiasaan yang mengisi kehidupan sehari-hari dari kreatornya yang seringkali secara tidak sadar banyak dimasukkan kedalam narasi-narasi yang ada pada animasi buatan studio lokal - uploaded by Andrian WikayantoAuthor contentAll figure content in this area was uploaded by Andrian WikayantoContent may be subject to copyright. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Representasi Budaya Dan Indentitas Nasional Pada Animasi Indonesia Andrian Wikayanto1,2 1Magister Desain ITB 2UPT Balai Informasi Teknologi LIPI Email wikayanto Abstract. Dalam perjalanannya, animasi buatan studio-studio di Indonesia banyak sekali yang mengangkat tema-tema budaya lokal baik berupa tema-tema budaya tradisional, cerita rakyat, maupun tema-tema modern yang dikombinasikan dengan tema tradisional. Pada penelitian ini akan mengupas perjalanan animasi lokal indonesia pada awal kemunculannya 1955 hingga tahun 2017 dan bagaimana budaya lokal direpresentasikan kedalam karya tersebut. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan metode analisi isi yang digunakan untuk membongkar unsur-unsur budaya apa saja yang banyak dimasukkan oleh para kreator animasi lokal Indonesia. Hasil yang didapatkan adalah pemilihan tema-tema mengenai budaya lokal tersebut tidak lepas dari kebiasaan-kebiasaan yang mengisi kehidupan sehari-hari dari kreatornya yang seringkali secara tidak sadar banyak dimasukkan kedalam narasi-narasi yang ada pada animasi buatan studio lokal Indonesia. Keywords culture, representation, national identity, animation, indonesia. 1 Pendahuluan Dalam kebudayaan itu sendiri, tersimpan beberapa sistem yang terstruktur dan berkaitan dengan kehidupan manusia. Terdapat unsur-unsur cultural universals di dalam kehidupan manusia itu sendiri, yang pada akhirnya diperinci menjadi aktivitas-aktivitas kebudayaan cultural activities, trait complexes, traits dan items. Unsur-unsur universal kebudayaan yang ada di seluruh dunia sendiri dibagi menjadi 7 unsur oleh Koentjaraningrat pada [1], yaitu Unsur ekonomi, Unsur teknologi, Unsur bahasa, Unsur kesenian, Unsur sistem kemasyarakatan, Unsur sistem pengetahuan, dan Unsur sistem religi. Mengacu pada pandangan diatas, kebudayaan dapat dilihat sebagai sekumpulan organisasi yang berkaitan membentuk suatu sistem terpadu yang berimplementasi pada penciptaan-penciptaan, baik perilaku maupun obyek- Representasi Budaya & Identitas Nasional Animasi Indonesia 2 obyek yang tersebar dalam masyarakat. Oleh karena itu segala bentuk kegiatan manusia yang berakibat pada perwujudan kehidupan manusia dapat disebut dengan kebudayaan. Dan salah satu bentuk dari kegiatan kebudayaan manusia tersebut adalah animasi. Karena menurut Wells [2] dengan film animasi kita dapat melihat tentang diri kita, budaya tempat kita hidup dan pandangan kita tentang seni dan masyarakat di tempat lain. Identitas nasional Indonesia sendiri adalah cara untuk menyatukan berbagai ragam kebudayaan di seluruh Nusantara. Menurut Barker [3] identitas ini dibangun dalam waktu yang lama dan seringkali dibangun melalui narasi bangsa dimana cerita, gambar, simbol-simbol dan ritual mewakili makna “kebangsaan” yang dimiliki bersama. Diharapkan dengan kuatnya identitas nasional Indonesia mampu menahan pengaruh budaya asing seperti yang terjadi saat ini ditengah-tengah era globalisasi. Burton [4] menyatakan bahwa representasi merujuk pada deskripsi untuk mendefinisikan kekhasan dari kelompok-kelompok tertentu. Representasi tidak hanya sebatas kajian mengenai tampilan di permukaan saja namun menyangkut pada makna-makna yang berkaitan dengan konstruksi penampilan. Sedangkan Eriyanto [5] lebih merujuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam media. Dalam konteks kebangsaan, ini menjadi penting dalam dua hal, yaitu 1 apakah sebuah negara ditampilkan sesuai dengan kondisinya apa adanya, 2 bagaimana representasi tersebut ditampilkan audio, visual atau audio visual. Ini menjadi penting mengingat pada saat ini media, khususnya animasi, tidak hanya menjadi salah satu alat untuk menyebarkan kebudayaan namun juga mampu memproduksi sebuah makna bagi para penontonnya. Rahmadhannik [6] berpendapat bahwa animasi adalah salah satu media alternatif untuk menyampaikan cerita hiburan, edukasi, sejarah, infografis, Representasi Budaya & Identitas Nasional Animasi Indonesia 3 bahkan dokumenter. Animasi merupakan salah satu bagian dari media yang mampu membawa dan menyebarkan kebudayaan yang dimiliki oleh kreator dan disebarkan ke negara atau kebudayaan lainnya. Sehingga terjadi proses pertukaran kode-kode kebudayaan saat melihat sebuah film animasi sebagai representasi sebuah hasil dari kebudayaan. Jika dikaitan dengan perkembangan animasi di Indonesia saat ini, fakta dilapangan ditemukan bahwa animasi buatan luar negeri justru lebih mendominasi daripada animasi buatan dalam negeri. Ditakutkan, generasi muda dimasa mendatang lebih mengenal budaya asing daripada budaya negeri sendiri. Terlebih lagi pada konsep globalisasi, kebudayaan yang lebih besar dan lebih maju cenderung menindas bahkan menghilangkan kebudayaan yang lebih kecil seperti pendapat Sukmono [7]. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan mencoba untuk mengurai bagaimana budaya lokal dieksplorasi oleh kreator animasi di Indonesia. Tujuan yang diharapkan adalah setelah dilakukan penelitiannya ini para kreator animasi lokal dapat semakin memahami pentingnya memanfaatkan kekayaan budaya Indonesia sebagai salah satu pondasi dalam merancang sebuah konsep karya animasi. Maka tidak heran jika Yu li Chang [8] menyebut bahasa dan budaya sebagai sumber kekuatan bagi aktor lokal ketika berinteraksi dengan kekuatan global. Artinya, kebudayaan lokal itulah senjata kita untuk menangkis segala serangan budaya asing yang tidak sesuai dengan konsep-konsep budaya dan kehidupan yang ada di Indonesia. Karena Menurut Ferguson [9] besarnya kompleksitas multikultural, ras, agama, dan bahasa, dan popularitas program yang diproduksi pada suatu negara akan mempersulit penyiar televisi global untuk melakukan penetrasi kedalam negara tersebut. Disinilah tantangan sekaligus peluang yang dihadapi oleh para kreator animasi lokal untuk lokal dapat mengeksplor kekayaan budaya Indonesia lebih banyak dan lebih mendalam lagi sehingga dapat bersaing dengan animasi luar negeri dan menjadi tuan di rumah sendiri. Representasi Budaya & Identitas Nasional Animasi Indonesia 4 2 Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif deskriptif dengan metode analisis isi yang berfungsi untuk mengeskplorasi dan mengidentifikasi bentuk-bentuk representasi budaya lokal pada karya animasi Indonesia. Teknik pengumpulan data didapatkan dari wawancara dengan kreator animasi lokal yaitu CEO dari Kumata Studio, Deryl Wilson. Studio animasi Kumata sendiri berdiri sejak tahun 2006 dan telah banyak menghasilkan karya animasi baik di dalam dan luar negeri. Salah satu karya animasi yang dibuat dibuat studio ini adalah film animasi “Si Juki The Movie” yang pada akhirnya menjadi film animasi terlaris di Indonesia [10]. Selain itu dilakukan juga studi literatur baik dari buku, thesis dan jurnal serta observasi pada beberapa sampel karya animasi lokal yang didapatkan dari tahun 1955 sampai tahun 2017. Sampel karya animasi yang diteliti adalah karya animasi lokal yang tayang di bioskop, televisi atau animasi pendek yang memiliki yang memiliki dampak yang cukup besar bagi perkembangan industri animasi di Indonesia. Setelah data dikumpulkan, terdapat 83 karya film animasi lokal yang memenuhi kualifikasi yang telah ditentukan diatas tabel 2. Dari data tersebut akan dilakukan evaluasi seberapa besar pengaruh dari budaya lokal terhadap imajinasi kreator animasi dan bagaimana wujud dari identitas nasional yang muncul pada karya animasi buatan studio lokal Indonesia. 3 Budaya dan Identitas Nasional Pada animasi Indonesia Prakosa menulis [11] bahwa sejarah animasi Indonesia sejatinya telah dibangun sejak 63 tahun yang lalu. Pada tahun 1955, Presiden Soekarno mengirim Dukut Hendronoto ke Disney Amerika selama 3 bulan untuk belajar mengenai animasi. Hasilnya adalah sebuah film yang berjudul Si Doel Memilih yang merupakan film animasi pertama di Indonesia yang bercerita tentang kampanye pemilihan umum saat itu. Film animasi ini dibuat oleh Dukut Hendronoto atas Representasi Budaya & Identitas Nasional Animasi Indonesia 5 visi Presiden Soekarno pada tahun 1955. Walaupun menurut Kurnianto masih mengundang kontroversi mengenai kebenarannya [12], film ini dapat dijadikan sebagai titik awal perkembangan animasi modern di Indonesia. Karena dengan dikirimnya Dukut Hendronoto untuk belajar animasi ke Studio Disney menjadi pintu gerbang bagi terwujudnya 83 film animasi indonesia yang lain tabel 2. Pada tahun 1979 munculah film animasi berdurasi 15 menit berjudul Timun Mas yang mengambil kisah foklor Nusantara yang dibuat oleh Drs. Suryadi bekerja sama dengan PPFN. Kerjasama tersebut dilanjutkan dengan diproduksinya film boneka Si Unyil muncul perdana di TVRI pada tanggal 5 april 1981. Film Si Unyil ini adalah film boneka yang digerakkan oleh tangan, namun didalamnya film Si Unyil ini memuat banyak sekali konten-konten lokal khas Nusantara. Karakter Unyil itu sendiri pada akhirnya didapuk sebagai salah satu karakter yang paling berpengaruh yang mampu merepresentasikan wajah Indonesia karena mampu memberikan pesan multikulturalisme yang ada di Indonesia menurut pendapat Basid [13]. Kesuksesan film Si Unyil saat itu 1981 mampu menginspirasi para kreator lain seperti diproduksinya film animasi Petualangan Si Huma diproduksi oleh PPFN pada tahun 1983 dan diproduksi ulang dalam bentuk animasi 3D pada tahun 2016. Pada periode tahun 1980 hingga awal 1990an banyak karya animasi yang mengambil unsur-unsur kearifan lokal saja yang muncul seperti Timun mas, Sedyawati menulis bahwa animasi Gawitra dan Baru Klinting yang merupakan film animasi buatan Sasonohardjo diangkat dari kisah legenda naga tradisional [14]. Keberhasilan animator lokal dalam merepresentasikan budaya lokal kedalam animasi inilah yang membuat Giannalberto Bendazzi memasukkan perkembangan animasi Indonesia kedalam bukunya Cartoon One Hundred Years of Cinema yang menggambarkan sejarah dan peta peranimasian di dunia [15]. Pada periode yang sama pula banyak studio animasi lokal yang Representasi Budaya & Identitas Nasional Animasi Indonesia 6 mengerjakan pekerjaan dari luar negeri seperti studio Asiana Wang yang mengerjakan proyek animasi ala Disney dan Evergreen studio atau Marsa Juwita Indah studio yang mengerjakan proyek animasi dengan gaya Anime [12]. Disinilah para kreator lokal mulai bersentuhan secara intens dengan gaya cerita dan gambar animasi luar negeri seperti gaya animasi Disney dan Anime dari Jepang. Setelah 27 tahun dunia pertelevisian didominasi oleh TVRI, akhirnya pada tahun 1989 monopoli tersebut diakhiri dengan berdirinya RCTI sebagai stasiun televisi swasta pertama di Indonesia [16]. Dengan banyaknya Televisi swasta di Indonesia tidak cukup membantu perkembangan animasi di Indonesia. Alih-alih memakai hasil produksi dalam negeri, justru televisi swasta itu banyak membeli serial animasi dari luar negeri seperti Doraemon, Saint Saiya, Sailor Moon dan Dragon Ball dengan alasan mencari harga beli yang lebih murah. Seperti yang diutarakan oleh Deryl Wilson bahwasanya untuk produksi 1 episode film animasi Si Unyil 3D yang baru biaya yang dibutuhkan bisa mencapai 400 juta rupiah. Sedangkan stasiun televisi bisa mendapatkan 1 episode film animasi luar negeri hanya dengan merogoh gojek sebesar 5 juta rupiah saja. Imbasnya secara ekonomi stasiun televisi tersebut mendapatkan konten yang murah sekaligus mendapatkan keuntungan yang besar dari iklan yang namun disisi yang lain justru semakin menenggelamkan industri animasi lokal Indonesia. Dampak banyaknya film animasi jepang yang tayang pada medio tahun 1990an tersebut adalah mampu menginspirasi banyak generasi muda Indonesia untuk menyukai gaya gambar Manga dan Anime yang berasal dari Jepang. Sehingga tidak heran Indonesia menjadi fandom budaya populer Jepang terbesar di Asia pada tahun-tahun berikutnya [17]. Pada tahun 1998-2005 terdapat 2 studio animasi lokal yang sempat menjadi bintang pada saat itu. Yaitu studio animasi Bening Yogyakarta dan studio Representasi Budaya & Identitas Nasional Animasi Indonesia 7 animasi Red Rocket. Agustiyanto menemukan bahwa pada periode 1998-2001 studio Bening memproduksi 16 serial animasi berbasis budaya lokal yang tayang di stasiun Televisi TPI yang berjudul Petualangan Si Kancil, Hang Tuah, Pangeran Katak dan Lutung Kasarung [18]. Dengan mengusung cerita khas Nusantara pada tahun 2000 studio ini mendapat penghargaan Art Director terbaik pada festival animasi di Korea Selatan [19]. Sebuah prestasi yang sangat langka mengingat serbuan animasi dari Jepang di Indonesia membuat animasi lokal yang mengusung budaya lokal pada ceritanya sedikit terpinggirkan dan kurang diminati oleh anak muda saat itu. Berbeda dengan Studio animasi Bening, Red Rocket justru memulai karirnya sebagai salah satu studio animasi besar di Indonesia saat itu dengan banyak mengerjakan proyek-proyek untuk iklan televisi. Pada penelitian Krisharyono dikemukakan bahwa baru pada tahun 2000, dengan dibantu oleh Indosiar serta Nestle, Red Rocket memproduksi 13 episode serial animasi dengan judul “Dongeng Aku dan Kau” yang mengadopsi kisah-kisah folklor Indonesia [20]. Selain itu, terdapat judul lainnya seperti Kilip & Puri Rembulan, Si Kurus & Si Macan, serta Mengapa Domba Bertanduk dan Berbuntut Pendek yang juga banyak mengadopsi elemen-elemen budaya nasional. Pada tahun 2003 dan 2004 terdapat film Janus Prajurit Terakhir dan film animasi Homeland yang tercatat sebagai film animasi pertama di Indonesia yang tayang di bioskop. Yang menjadi perbedaan adalah pada film Janus animasi dikombinasikan dengan live action hasil shot kamera, sedangkan film Homeland merupakan film animasi 3D. Kedua film tersebut tidak mengambil konten-konten budaya lokal secara langsung dalam skenarionya namun lebih kepada cerita fantasi di masa depan. Secara umum, dari tahun 1955-2017 terdapat 2 tipe animasi indonesia. Yaitu animasi yang mengusung tema-tema budaya lokal dan animasi yang tidak Representasi Budaya & Identitas Nasional Animasi Indonesia 8 mengambil tema budaya lokal. Animasi yang mengangkat tema budaya lokal banyak mengambil unsur-unsur identitas nasional seperti suku bangsa, kebudayaan, agama, bahasa, geografis, sejarah dan sifat-sifat. Tema besar ini dapat dibagi lagi menjadi 3 macam yaitu Figure 1 Pembagian tema-tema budaya pada animasi Indonesia 1. Animasi yang mengangkat tema budaya tradisional Indonesia. Pada tema ini konsep animasi banyak mengambil unsur-unsur identitas alamiah tradisional Indonesia yang meliputi negara kepulauan dan pluralisme dalam suku, budaya, bahasa lokal dan agama kepercayaan [21]. Contohnya adalah pengambilan setting dan cerita dari konten-konten cerita rakyat dan legenda seperti yang ada pada judul animasi Bawang merah-Bawang Putih, Hang Tua, Petualangan Si Kancil dan Timun Mas. Tidak hanya itu, beberapa animasi juga mengambil konsep-konsep budaya lokal seperti pengambilan elemen-elemen visual batik, alat-alat perang keris, tombak. Adapula film animasi yang merepresentasikan suku-suku di indonesia seperti animasi Hang Tuah yang merepresentasikan suku Melayu di Sumatra, Lutung Kasarung yang merepresentasikan suku Sunda atau serial timun mas yang mengambil representasi suku Jawa secara umum. 2. Animasi yang mengambil tema budaya modern Indonesia. Merupakan karya animasi yang mengambil setting Indonesia pada zaman modern seperti judul animasi J-Town, Menggapai Bintang, Keluarga Somad, dan Adit Sopo Jarwo. Disini walaupun mengambil setting Indonesia modern namun didalamnya masih tetap mengandung esensi dan filosofi kebudayaan Indonesia secara umum seperti gotong royong, penggunaan bahasa lokal serta etika dan budi pekerti khas orang-orang Indonesia. Ada juga film animasi Battle of Surabaya yang mengambil unsur sejarah Indonesia pada zaman kemerdekaan. Representasi Budaya & Identitas Nasional Animasi Indonesia 9 Hampir sama dengan tema animasi yang mengangkat tema budaya tradisional Indonesia pada nomer 1 diatas, pada tema nomer 2 ini juga tetap mengambil unsur-unsur alamiah identitas budaya Indonesia seperti yang terlihat pada serial animasi Adit Sopo Jarwo ASJ menurut Samodro [22]. Pada film ASJ setiap karakternya mempunyai cerita dan latar belakang yang berbeda namun tetap menggambarkan karakter masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah karakter Jarwo tetap memiliki aksen kental khas Jawa saat berbicara menggunakan Bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan karakter Jarwo adalah pria asal Semarang yang ikut kakaknya merantau di Jakarta. Contoh lainnya terdapat pada serial animasi Keluarga Somad yang kental sekali dengan nuansa kampung khas Betawinya. 3. Animasi yang menggabungkan tema fantasy dengan budaya Indonesia secara umum. Tema ini cukup menarik karena terdapat beberapa judul animasi lokal yang mencoba untuk mencampurkan unsur-unsur budaya lokal Indonesia dengan tema-tema fantasi, sehingga terdapat bentuk konsep cerita yang berbeda namun tetap terasa khas Indonesia. Hal tersebut dapat ditemui pada film Vatalla Sang Pelindung yang karakternya menemukan keris purba di dunia Cyodyavalla. Keris itu sendiri adalah senjata khas Indonesia, namun disajikan pada dunia fantasi pada cerita ini. Contoh yang lain terdapat pada film Knight Kris dimana Bayu karakter utamanya menemukan keris di dalam candi kuno. Sayangnya keris tersebut juga merupakan segel yang mengurung Asura, Seorang Raksasa kejam. Pada film ini walaupun berada di dunia Fantasi, namun banyak sekali elemen-elemen visual Indonesia batik, ukiran-ukiran, bentuk rumah dan senjata-senjata diambil untuk mengisi konsep cerita dan visual dari film Knight Kris ini. Film yang cukup menarik lainnya adalah animasi Kuku Rock You yang menceritakan seekor ayam kampung dari Indonesia bersama beberapa temannya yang terobsesi menjadi penyanyi rock. Pada film ini setting animasi dibuat seperti kandang ayam khas kampung Indonesia. Contoh-contoh diatas merupakan sebuah contoh kombinasi unsur-unsur budaya lokal dapat dijadikan sebagai inspirasi dalam membuat sebuah konsep animasi. Sehingga penerapan identitas budaya Indonesia tidak hanya kaku pada unsur-unsur tradisional dan kontemporer saja namun dapat ditarik kedalam pemahaman yang lebih luas lagi namun tetap mengadopsi identitas nasional Indonesia secara umum. Sedangkan pada animasi yang tidak mengangkat budaya Indonesia dapat dilihat pada karya animasi eksperimen di awal-awal tahun berdirinya industri animasi di Indonesia seperti pada karya Dwi Koendoro yang berjudul Batu dan pada Representasi Budaya & Identitas Nasional Animasi Indonesia 10 film eksperimen dari Gotot Prakosa. Selain itu film Heli Hela Helo yang merupakan film animasi 3D pertama di Indonesia yang bercerita pertempuran Helikopter dengan pesawat tempur, film Homeland yang berkisah tentang karakter Bumi yang terdampar di sebuah planet, Serial animasi Kiko yang menceritakan sebuah dunia bawah laut, dan film-film dari Paddle Pop yang lebih banyak mengambil cerita tentang petualangan Singa di kerajaan Paddle Pop. Contoh lainnya ada pada film-film yang ada di acara Hellofest, festival animasi dan film pendek terbesar di Indonesia. Pada acara ini banyak sekali ditemukan film-film animasi eksperimental yang secara umum tidak banyak mengangkat tema-tema budaya Indonesia. Tercatat dari tahun 1955 hingga tahun 2007 telah muncul 33 film animasi yang tayang di Indonesia tabel 2. Namun sejak tahun 2008 hingga 2017 sebanyak 51 film animasi buatan studio lokal diproduksi di Indonesia dengan mengangkat berbagai macam tema. Hal ini menjadi menarik karena terdapat peningkatan produksi animasi yang sangat drastis dalam kurun 10 tahun terakhir. Jika dihitung secara kasar peningkatannya lebih dari 150% pada periode 2008-2017 10 tahun dibandingkan periode 1955-2007 52 tahun. Pertanyaannya adalah mengapa pada tahun 2008 itu perlu dicatat sebagai tahun penting pada perkembangan industri animasi indonesia?. Selain semakin mudahnya pembuatan sebuah animasi, semakin banyaknya tenaga kerja dan berkembangnya internet pada periode tahun 2008-2017 juga terdapat faktor lain yang dirasa lebih fundamental yang mempengaruhi perkembangan industri animasi Indonesia. Adalah film animasi Upin-Ipin yang mungkin menjadi jawabannya. Upin-Ipin merupakan film animasi buatan studio animasi Las-Copaque Malaysia yang tayang perdana pada bulan Ramadhan tahun 2007 di Malaysia. Setahun kemudian 2008 serial animasi ini tayang perdana di MNC TV di Indonesia. Karena mengusung cerita keseharian anak Representasi Budaya & Identitas Nasional Animasi Indonesia 11 kembar Upin & Ipin yang dibalut dengan tema budaya Melayu, serial ini dengan mudah diterima dan populer di mata para pemirsa di Indonesia menurut pendapat Khalis, et al [23]. Jika dilihat dari tema yang diambil, Upin-Ipin banyak mengangkat budaya-budaya kampung lokal Malaysia untuk dijadikan sebagai bahan cerita pada film animasinya [24]. Selain bahasa melayu, diangkat pula elemen-elemen budaya lainnya seperti baju adat, bentuk rumah & lingkungan sekitar, permainan, ragam makanan & minuman khas hingga cerita-cerita rakyat yang berasal dari Malaysia yang kebanyak memiliki kesamaan dengan budaya yang ada di Indonesia [25]. Bisa jadi dikarenakan serial animasi Upin-Ipin inilah para animator lokal merasa gerah dan berusaha untuk membuat karya animasi yang mampu menyaingi ketenaran Upin-Ipin di tanah air hingga saat ini. Hal ini bisa menjadi alasan karena sedari dulu masyarakat Indonesia dikenal cukup sensitif jika dikaitkan dengan negara Malaysia. Tidak hanya karena berbagai masalah yang sering terjadi seperti klaim sepihak Malaysia terhadap budaya Indonesia, hingga sejarah mengenai konfrontasi Indonesia-Malaysia di tahun 1963 yang hampir saja membawa kedua belah pihak menuju perang saudara serumpun, namun hal tersebut lebih menjurus sebagai proses perlawanan terhadap dominasi animasi asing di industri animasi Indonesia. Ini menjadi lebih ironis jika melihat bahwasanya Malaysia sendiri baru merilis animasi pertamanya pada tahun 1983, dengan diproduksinya film animasi Hikayat Si Kancil produksi Film Negara Malaysia FNM [26]. Beberapa studio animasi lokal seperti Kumata studio sendiri juga mengakui dengan adanya Upin-Ipin membuat mereka termotivasi untuk membuat karya yang lebih baik dari serial tersebut. Setelah fenomena Upin-Ipin populer di Indonesia terjadi, baru pada tahun 2011 banyak muncul serial animasi yang cukup konsisten tayang di televisi swasta dan cukup digemari oleh pemirsa Indonesia. Dimulai dengan serial animasi Representasi Budaya & Identitas Nasional Animasi Indonesia 12 Vatalla Sang Pelindung yang tayang di Trans Tv, kemudian animasi Songgo Rubuh yang mengambil setting budaya Jogja yang tayang selama beberapa pekan, hingga serial animasi Keluarga Si Somad yang diproduksi oleh studio animasi Dreamtoon dan tayang di Indosiar selama beberapa tahun. Dilanjutkan dengan serial Adit & Sopo Jarwo, Si Entong, Kiko dan animasi J-Town yang juga masih tayang secara reguler hingga saat ini di Trans TV, MNC TV dan Net TV. Tidak lupa pula serial animasi Si Unyil yang diproduksi kembali oleh PFN pada tahun 2016. Hingga puncaknya adalah film animasi biosko Si Juki The Movie Panitia Hari Akhir yang pada akhirnya didapuk sebagai film bioskop animasi terlaris di Indonesia [10]. Usaha dalam memasukkan konten budaya lokal sudah dicoba dalam beberapa judul animasi lokal dalam muncul di televisi sebelum Upin-Ipin datang di Indonesia namun kurang begitu sukses dipasaran. Fenomena kesuksesan Upin-Ipin di Indonesia dapat dijadikan sebagai studi kasus yang penting dalam usaha memasukkan unsur-unsur budaya lokal kedalam animasi tanpa terpengaruh gaya animasi jepang atau Amerika. Apalagi konsep budaya Melayu yang dibawa pada animasi Upin-Ipin sangat mirip dengan budaya yang ada di Indonesia. Hal inilah yang membuat para kreator animasi di Indonesia mendapatkan gambaran bagaimana cara memasukkan elemen-elemen budaya lokal kedalam karya animasi tanpa harus berkiblat pada dua kiblat animasi dunia tersebut. Jika dilihat data pada tabel 1, sebanyak 73,5% film animasi Indonesia mengambil tema-tema budaya Indonesia dalam karya animasinya 1955-2017. Jika dibandingkan dengan periode sebelum dan sesudah Upin-Ipin datang persentasenya tidak terlalu jauh berbeda 73% berbanding 74%, namun secara kuantiti jumlahnya jauh lebih banyak. Hal ini mengindikasikan bahwa para animator Indonesia secara sadar atau tidak sadar tetap konsisten membawa unsur-unsur tradisi Indonesia dalam karya animasinya baik itu sebelum dan Representasi Budaya & Identitas Nasional Animasi Indonesia 13 sesudah adanya fenomena Upin-Ipin di Indonesia. Pada saat menerima brief dan premis terkait proses pembuatan film Si Juki dan serial animasi J-Town, tim kreatif dari studio animasi Kumata dengan sengaja menyempatkan diri untuk meriset lokasi-lokasi yang dapat dijadikan set latar belakang untuk kedua animasi tersebut di Jakarta. Mereka mencari secara detil elemen-elemen apa saja yang membuat kota jakarta terlihat “Jakarta”. Seperti memotret kondisi rumah petak di Rawamangun, kehidupan di bawah Tol/jalan layang, hingga potret kehidupan suasana kampung yang bersebelahan dengan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta. Proses kreatif diatas merupakan salah satu contoh dimana para kreator animasi secara sadar memasukkan konten-konten budaya lokal kedalam konsep kreatif animasinya. Table 1 Perbandingan jumlah animasi sebelum dan sesudah tahun 2008. Animasi Dengan Tema Budaya Animasi Tanpa Tema Budaya Proses dalam memasukkan konten-konten lokal secara tidak sadar kedalam karya animasi dapat terjadi pada saat seorang seniman animasi memakai pengalaman hidupnya sebagai salah satu bagian dari konsep kreatif baik itu pada karakter maupun cerita sebuah animasi. Seperti yang terjadi pada saat para pekerja animasi Disney menerima undangan dari pemerintah Amerika untuk berkunjung ke Amerika Selatan. Deja menulis bahwa perjalanan tersebut pada akhirnya menginspirasi proses produksi animasi The flying Gauchito 1945 yang terinspirasi dari cerita rakyat dan budaya di Amerika Latin [27]. Representasi Budaya & Identitas Nasional Animasi Indonesia 14 Memang tidak semua konten-konten budaya dapat secara langsung dimasukkan kedalam konsep cerita atau karakter. Semua konsep animasi pada dasarnya harus tetap mengedepankan minat audience untuk melihat film tersebut dari awal hingga akhir. Contoh terbaik terdapat pada karya animasi Disney yang berjudul Snow White and The Seven Dwarfs menurut Beiman [28]. Pada buku aslinya karakter tujuh kurcaci bukanlah tokoh utama cerita tersebut. Mereka hanya motivator plot dan tidak memiliki nama sama sekali. Namun pada saat diadaptasi oleh Disney dalam bentuk animasi 2 dimensi, para kurcaci tersebut diberikan nama masing-masing yang dapat menggambarkan karakter tertentu. Hal tersebut dilakukan agar para penonton menjadi lebih paham dan tertarik untuk melihat film animasi tersebut hingga selesai. Oleh karena itu, dengan banyaknya budaya lokal yang ada di seluruh penjuru Nusantara ini seharusnya dapat dijadikan sebagai tambang ide yang tidak terbatas bagi para kreator animasi di Indonesia. Jika tidak bisa jadi ide-ide tersebut justru dimanfaatkan oleh pihak asing demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari budaya lokal tersebut. Selain Upin-Ipin diatas, film animasi Kungfu Panda bisa dijadikan sebagai contoh dimana budaya Cina dieksplor habis-habisan oleh studio animasi Dreamworks. Menurut Li [29], keberhasilan film tersebut secara ekonomi secara global tidak lantas membuatnya dipuji oleh masyarakat Cina itu sendiri. Masyarakat Cina sendiri cenderung mengkritik film Kungfu Panda karena citra panda pada film tersebut terlalu condong pada budaya amerika yang merepresentasikan kekuatan individual yang sangat kuat dibandingkan budaya kolektif yang sangat mengakar di negara Cina. Maka tidak heran jika setelah kemunculan film Kungfu Panda para animator di Cina saat itu juga ingin menunjukkan kepada dunia seperti apa animasi cina yang asli/original, meskipun arti “original” tersebut masih cukup kontroversial. Mengapa dianggap kontroversial?, hal ini dikarenakan konsep original dimata para animator cina saat itu adalah benar- Representasi Budaya & Identitas Nasional Animasi Indonesia 15 benar mengadopsi secara utuh konsep budaya nasional mereka kedalam bentuk animasi. Mereka tidak menerima proses penggabungan budaya cina dengan budaya asing pada sebuah karya animasi. Pemahaman ini, menurut Consalvo, tidak hanya membawa kepada pemahaman sempit tentang bagaimana karya animasi Cina di representasikan, namun juga membatasi proses kreatif pada proses animasi diluar gaya nasional khas Cina [30]. Terlebih lagi jika kita ingin bisa menembus pasar animasi global, gagasan mengenai karya animasi naional yang mengadopsi budaya lokal secara utuh tidak dapat dipraktekan dengan mudah, mengingat pada industri ini aspek hibriditas merupakan kunci utama agar dapat diterima di semua kalangan secara global. 4 Kesimpulan Secara umum produk animasi lokal banyak mengangkat tema-tema budaya Indonesia selama lebih dari 62 tahun. Tema-tema budaya yang diambil dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu animasi yang mengambil tema budaya tradisional Indonesia, animasi yang mengambil tema budaya modern Indonesia dan animasi yang menggabungkan tema fantasi dengan budaya Indonesia. Elemen-elemen identitas nasional yang diambil dapat berupa identitas suku bangsa, kebudayaan, agama, bahasa, geografis, sejarah dan sifat/karakter keindonesiaan. Pengambilan tema-tema budaya Indonesia pada karya animasi lokal ini dapat dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja oleh para kreator. Hal ini dikarenakan pengangkatan tema-tema lokal tersebut tidak lepas dari pengaruh lingkungan disekitar para kreator animasi yang secara tidak sadar telah membentuk pola pikir dan imajinasi dari kreator itu sendiri. Di Jepang sendiri, animasi datang dari budaya barat. Namun sejarah panjang serta pengembangan animasi di jepang itu sendiri pada akhirnya mampu membentuk sebuah gaya animasi baru khas Jepang Anime namun tetap berbeda dengan gaya animasi di barat. Hal yang sama juga dapat terjadi di Representasi Budaya & Identitas Nasional Animasi Indonesia 16 Indonesia. Jika iklim positif yang ada pada 10 tahun terakhir di industri animasi Indonesia ini tetap terjaga maka dapat diprediksi dimasa mendatang fenomena ini dapat membentuk gaya animasi baru yang sangat merepresentasikan Indonesia baik secara konsep cerita maupun gaya visualnya. Pondasi yang kuat sudah ditancapkan dengan banyaknya animasi lokal yang mengangkat elemen-elemen budaya Nasional pada konsep cerita yang ditampilkan dalam kurun 62 tahun terakhir. Tinggal masalah gaya visual yang untuk saat ini para kreator animasi lokal masih banyak terpengaruh dengan gaya anime Jepang ataupun gaya animasi Amerika. Proses tersebut membutuhkan waktu, namun kita percaya industri animasi Indonesia sedang berada pada rel yang tepat menuju era keemasan industri animasi Indonesia. Usaha para kreator lokal dalam menangkis serangan homogenisasi global melalui animasi layak diberikan apresiasi setinggi tingginya. Hal tersebut menjadi sangat beralasan karena dalam perkembangannya industri animasi lokal telah diserbu oleh berbagai macam judul animasi dari Jepang, Korea, Amerika, Eropa, Malaysia hingga animasi dari India yang masing-masing judul animasi tersebut turut membawa budaya dari negara masing-masing kedalam karya animasinya. Dengan adanya produk animasi lokal yang mengangkat tema-tema Indonesia secara tidak langsung turut serta membangun rasa nasionalisme terhadap bangsa Indonesia yang telah lama kabur karena serangan budaya asing pada animasi seperti serial anime Jepang di televisi atau dominasi produk-produk animasi dari Amerika di bioskop. Seperti yang dikemukakan pada bab sebelumnya, penelitian ini hanya mengambil sampel animasi lokal yang tayang di bioskop, televisi dan animasi pendek yang memiliki dampak langsung terhadap perkembangan dunia animasi di Indonesia. Dikarenakan sedikitnya dokumentasi mengenai sejarah animasi Indonesia di masa lalu memungkinkan terdapatnya judul-judul animasi yang Representasi Budaya & Identitas Nasional Animasi Indonesia 17 terlewat dan tidak ditemukan sampelnya. Disaat yang sama di zaman digital saat ini banyak sekali judul-judul baru yang tayang di media-media sosial sehingga dikarenakan keterbatasan waktu penelitian judul-judul baru tersebut terlewat dari proses pencarian data. Oleh karena itu pada penelitian ini tidak begitu menyorot bagaimana eksistensi animasi lokal khususnya pada komunitas indie yang tayang di media internet seperti youtube, Facebook atau instagram. Maka dapat disarankan untuk melihat eksistensi animasi lokal yang ada pada platform media tersebut sekaligus mengupas bagaimana budaya Indonesia direpresentasikan. Hal ini menjadi menarik karena media sosial seperti youtube dan instagram memiliki segmentasi tersendiri sehingga para kreator lokal yang membuat karya animasi dan ditayangkan di media sosial memiliki tantangan yang cukup besar agar karya animasinya dapat diterima di pasar nasional sekaligus pasar global melalui media sosial tersebut. Acknowledgement Penelitian ini tidak akan berhasil jika tidak ada dukungan penuh dari KEMRISTEKDIKTI yang telah memberikan beasiswa SAINTEK kepada peneliti, serta Bpk. Evandri dan Ibu Nuke dari LIPI selaku promotor. Tidak lupa ucapan terimakasih ditujukan kepada CEO Kumata Studio, Bpk. Deryl Wilson, atas kesediaannya untuk wawancara terkait topik penelitian ini. Daftar Pustaka [1] K. Koentjaraningrat, “Mentalitas dan Pembangunan di Indonesia,” Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 1992. [2] P. Wells, Understanding animation. New York Routledge, 1998. [3] C. Barker, Cultural Studies. London SAGE Publications, 2004. [4] G. Burton, “Media dan Society, Critical Perspectives,” p. 394, 2005. [5] Eriyanto, Analisis wacana pengantar analisis teks media. Yogyakarta LKiS Yogyakarta, 2001. [6] S. Rahmadhannik, “Penciptaan Karya Seni Penciptaan Film Animasi 2d The Awakening Lullaby ,’” Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 2018. [7] F. G. Sukmono, “Globalisasi Televisi Senjata Utama Melihat Dominasi Negara Adikuasa Terhadap Negara Dunia Ketigaf,” J. Komun., vol. 2, no. 2, pp. Representasi Budaya & Identitas Nasional Animasi Indonesia 18 149–159, 2010. [8] Yu li Chang, “ Glocalization ’ of television Programming strategies of global television broadcasters in Asia,” Asian J. Commun., no. 131, pp. 1–36, 2009. [9] Marjorie Ferguson, “Media, Markets, and Identities Reflections on the Global-Local Dialectic The 1994 Southam Lecture,” Can. J. Commun., vol. 20, no. 4, 1995. [10] Henryhens, “Film Animasi Indonesia Terlaris, Ini 5 Fakta Si Juki The Movie - Celeb 2018. [Online]. Available [Accessed 09-May-2018]. [11] G. Prakosa, Animasi pengetahuan dasar film animasi Indonesia. Jakarta Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta, 2010. [12] A. Kurnianto, “Tinjauan Singkat Perkembangan Animasi Indonesia Dalam Dalam Konteks Animasi Dunia,” Humaniora, vol. 6, no. 2, pp. 240–248, 2015. [13] A. Basid, “Pesan Multikultural Dalam Serial Film Animasi Anak Adit, Sopo, Dan Jarwo,” vol. 29, 2016. [14] E. Sedyawati and I. D. J. Kebudayaan, Pekan komik & animasi nasional 98, 6-12 Februari 1998. Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1999. [15] G. Bendazzi and A. Taraboletti-Segre, Cartoons One Hundred Years of Cinema Animation. Indiana University Press, 1994. [16] I. Hutagalung, “Penggunaan Media Tv Di Indonesia,” J. Komunikologi, vol. 1, no. 1, pp. 1–7. [17] P. A Nugroho and G. Hendrarastomo, “Anime Sebagai Budaya Populer Studi Pada Komunitas Anime Di Yogyakarta,” no. 1, pp. 1–15. [18] D. Agustiyanto, “Pusat Film Animasi Di Yogyakarta Citra Visual Ruang Sebagai Sarana Edukatif Dan Apresiatif,” Duta Wacana Christian University, 2008. [19] D. B. Harto, “Fungsi Batik Masih Bisa Diothak-Athik Sebuah Tawaran Revitalisasi Batik Untuk Film Animasi Khas Indonesia,” In Revitalisasi Batik Melalui Dunia Pendidikan, 2010, pp. 1–21. [20] Krisharyono, “Perwujudan Konsep Kebhinnekaan Dalam Desain Karakter Serial Animasi,” Invensi, vol. 1, no. 2, pp. 37–51, 2016. [21] Heri Herdiawanto and Jumanta Hamdayama, Cerdas, kritis, dan aktif berwarganegara pendidikan kewarganegaraan untuk perguruan tinggi. Jakarta Erlangga, 2010. [22] Dewanto Samodro, “Melongok ke dapur Adit Sopo Jarwo,” Antara News, 2015. [Online]. Available [Accessed 22-Nov-2018]. [23] F. M. Khalis, N. Mustaffa, M. Nor, and S. Ali, “The Sense of Local Identity Characteristic in Malaysian,” Int. J. Arts Sci., vol. 09, no. 03, pp. 485–496, 2016. [24] L. Mermaid and M. Mouse, “Malaysia Animating an International Brand,” ASEAN Intellect. Prop. Portal, pp. 27–37, 2014. [25] D. Bin and A. Ghani, “Upin & Ipin Promoting malaysian culture values through animation,” vol. 20, pp. 241–258, 2015. [26] A. Harun and R. A. Rahim, “Analyzing the first Malaysian animated film hikayat Sang Kancil,’” CSSR 2010 - 2010 Int. Conf. Sci. Soc. Res., no. Representasi Budaya & Identitas Nasional Animasi Indonesia 19 December, pp. 618–623, 2010. [27] A. Deja, The Nine Old Men lessons, techniques, and inspiration from Disney’s great animators. Boca Raton Taylor & Francis, 2016. [28] N. Beiman, “Prepare to Board ! Creating Story and Characters for Animated Features and Shorts,” 2007. [29] L. Li, “Understanding Chinese animation industry The nexus of media , geography and policy animation industry The nexus of media ,” vol. 0694, no. June, 2017. [30] M. Consalvo, “Console video games and global corporations Creating a hybrid culture,” New Media Soc., vol. 8, no. 1, pp. 117–137, 2006. Lampiran Table 2 Data judul film animasi Indonesia dari tahun 1957-2017 Dwi Koendoro, Jun Saptohadi Bawang Merah-Bawang Putih, Dongeng Untuk Aku Dan Kau Representasi Budaya & Identitas Nasional Animasi Indonesia 20 Mengapa Domba Bertanduk Dan Berbuntut Pendek Gunung Batu Enterprise, Diknas Oktodia Mardoko & Haryadhi Petualangan Singa Pemberani 1 Petualangan Singa Pemberani 2 Representasi Budaya & Identitas Nasional Animasi Indonesia 21 Petualangan Singa Pemberani Dinoterra 3d Petualangan Singa Pemberani Magilika 3d Petualangan Singa Pemberani Atlantos The Chronicle Of Java Fire & Ice The Legend Of Ajisaka Si Juki The Movie Panitia Hari Akhir Petualangan Singa Pemberani Atlantos 2 ... Upin-Ipin banyak mengangkat budaya-budaya kampung Malaysia yang dijadikan bahan cerita pada film animasinya. Selain bahasa Melayu, diangkat pula elemen-elemen budaya lainnya seperti baju adat, bentuk rumah & lingkungan sekitar, permainan, ragam makanan & minuman khas hingga ceritacerita rakyat yang berasal dari Malaysia [4]. Di dalam konten Upin & Ipin juga memuat tentang penyampaian pendidikan moral dan karakter, pengajaran nilai-nilai, dan universalitas dunia anak-anak yang khas Malaysia. ...... Demikian pula dengan film boneka Si Unyil yang memuat banyak sekali konten-konten lokal khas Nusantara yang diterapkan pada berbagai elemen. Karakter Unyil tersebut pada akhirnya didapuk sebagai salah satu karakter yang paling berpengaruh, mampu merepresentasikan wajah Indonesia melalui pesan multikulturalisme [4]. ...... pakaian masyarakat lokal. Seluruh informasi ini didapat dari berbagai sumber literatur seperti jurnal maupun literatur digital [2], [4]. ...... Nugroho, Hendrarastomo, dan Nugraha, 2017 Prakosa, 2010. Secara umum banyak kreator animasi lokal Indonesia yang terinspirasi dengan gaya animasi Jepang dan Amerika, namun sudah ada usaha dari para kreator animasi Indonesia untuk memasukkan unsur-unsur budaya lokal Indonesia ke dalam karya animasinya meskipun detail dari wujudwujud tersebut masih belum terpetakan hingga sekarang Wikayanto, 2018 ... Andrian WikayantoBanung GrahitaRuly DarmawanABSTRAK Identitas budaya lokal di suatu negara memengaruhi bagaimana bentuk dari karya animasi di negara tersebut. Jepang memiliki 14 kategori budaya dan Malaysia memiliki 13 kategori dalam karya animasi mereka. Hal tersebut membuat karya animasi mereka memiliki ciri khas di mata penonton animasi. Di Indonesia, hal tersebut masih belum terpetakan secara mendetail hingga saat ini. Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji seperti apa unsur-unsur budaya lokal yang ada dalam karya animasi Indonesia. Metode yang digunakan adalah menggunakan analisis isi dengan pendekatan budaya sebagai landasan teori. Hasil yang didapatkan adalah 17 katagori budaya termasuk 5 kategori yang tidak ada dalam kategori budaya animasi Jepang dan Malaysia. Tujuh belas kategori tersebut tersebar ke dalam 375 bentuk-bentuk identitas budaya yang merepresentasikan ciri khas budaya Indonesia. Kata kunci animasi Indonesia, representasi budaya, identitas, ciri khas ABSTRACT Local Culture Elements in Indonesian Animation Works in the Period of 2014-2018. Local cultural identity in a country influences the form of animation works in that country. Japan has 14 cultural categories and Malaysia has 13 categories in their animation works. This makes their animation work has distinctive characteristics for the audience. In Indonesia, this still has not been mapped in detail to date. Therefore, this research examines what elements of local culture exist in Indonesian animation works. The method used is content analysis with a cultural approach as the basis of the theory. The results showed that there are 17 cultural categories including 5 categories which do not exist in the cultural category in Japanese and Malaysian animation. Those 17 categories are spread into 375 forms of cultural identity that represent the characteristics of Indonesian culture. Andrian WikayantoBanung GrahitaRuly DarmawanIdentitas budaya lokal pada suatu negara mempengaruhi bagaimana bentuk dari karya animasi di negara tersebut. Jepang sendiri memiliki 14 kategori budaya dan Malaysia memiliki 13 kategori pada karya animasi mereka. Hal tersebut membuat karya animasi mereka memiliki ciri khas dimata penonton animasi. Di Indonesia sendiri hal tersebut masih belum terpetakan secara mendetail hingga saat ini. Oleh karena itu pada penelitian ini meneliti seperti apa unsur-unsur budaya lokal yang ada pada karya animasi Indonesia. Metode yang digunakan adalah menggunakan analisis isi dengan pendekatan budaya sebagai landasan teorinya. Hasil yang didapatkan adalah 17 katagori budaya termasuk 5 kategori yang tidak ada pada kategori budaya pada animasi Jepang dan Malaysia. 17 kategori tersebut tersebar kedalam 375 bentuk-bentuk identitas budaya yang merepresentasikan ciri khas budaya Indonesia. Arik KurniantoThe purpose of this study was to assess the development of animated films in Indonesia based on historical studies to determine simultaneously mapping the history Indonesia in the context of world/global animation history. This study also examines the relationship between the histories of Indonesiananimated films with history first entry of the film in Indonesia which began the Dutch colonial era. According to Stephen Cavalier, the world history of animation was divided into five large round starts from the era before 1900 The Origin of Animation to the digital era 1986-2010. Based results of the study, Indonesian animation in the context of five major round of world animation, though have long been in contact with foreign-made films and animation Disney Studio has into Indonesia from the early 20th century the early 1900s, the animation is produced Indonesia has only emerged in the '50s through the vision of a Soekarno, the first President. 1950 in the world of animation history entered the era of transition from gold age of traditional animation/cartoon golden age of cartoons are dominated by studio Disney to the era of television television era. In a review of the history of animation, the era of the '50s travel half a century is the era of the modern world of animation history. Based on the facts the Indonesian animation has actually grown quite long, but the development of animation in Indonesia was very slow when seen in the context of the world animation history. Leilei liThe international visibility of Chinese animation is insignificant. However, its production has evolved since the 1920s, growing from the making of animated films based on hand-drawing and traditional crafts to producing television and new media-centred animations. With the government?s increasing concern about the development of the cultural and creative industries, animation policies are being made actively and dramatically reshaping this industry at both national and local levels. This article proposes an analytic framework synthesizing or combining the three dimensions of media, geography and policy to examine the historical development and geographical performance of Chinese animation. It explains how the power of media as the broadcasting platform of animation, domestic and international production factors, and cultural policy highlighting a national style of animation have constructed the reality of the business model, the visual aesthetics and the dynamics of production locations of Chinese this paper, we present the results of the case study of the first Malaysian animated film entitled Hikayat Sang Kancil 1983 or The legend of the Mousedeer. Basically our aim is to establish understanding regarding the visual conventions cinematic elements, animated characters and visual metaphors that are employed by the animator, Anandam Xavier. In order to make inference about the conventions, we approached mix methods, content analysis and compositional interpretation. To add more depth to the study, we also gathered information through interview with two animation pioneers of Filem Negara Malaysia, Goh Meng Huat and Hassan Abd Muthalib. Our analysis reveals that HSK not only features anthropomorphic animals with local style but also contain latent visual metaphors. These elements in a way help create a look of the animation. We hope that the findings will provide valuable source of reference for creative societies especially film historian, animator and art & design students in Malaysia. Dahlan Abdul GhaniMalaysian children lately have been exposed or influenced heavily by digital media entertainment. The rise of such entertainment tends to drive them away from understanding and appreciating the values of Malaysian culture. Upin and Ipin animation has successfully promoted Malaysian folklore culture and has significantly portrayed the art of Malaysian values including Islamic values by providing the platform for harmonious relationship among different societies or groups or religious backgrounds. The focus of this research is to look into the usage of Malaysian culture iconic visual styles such as backgrounds, lifestyles, character archetypes and narrative storytelling. Therefore, we hope that this research will benefit the younger generation by highlighting the meaning and importance of implicit Malaysian FergusonContrary to views of globalism as a totalizing process, the argument is made that national economic interests are driving local and global audiovisual trade policies, oftimes at the expense of legitimate cultural concerns. The article's first part reflects on some conceptual and theoretical questions raised by these developments; the second traces global-local media discourse through a comparison of national and regional responses to foreign satellite television programs in Canada, Europe, and South East Asia. Résumé Nous nous opposons à l'idée que la globalisation est un processus totalisant en soulignant que ce sont les intérêts économiques nationaux qui dirigent actuellement les politiques locales et globales en échanges audiovisuels, souvent aux dépens de besoins culturels légitimes. La première partie de l'article porte sur quelques questions conceptuelles et théoriques soulevées par cette situation; la seconde retrace le discours global-local en comparant les réactions nationales et régionales à la télédiffusion d'émissions étrangères par satellite au Canada, en Europe occidentale, et en Asie du Sud-Est. Mia ConsalvoThis article argues that the contemporary console video game industry is a hybrid encompassing a mixture of Japanese and American businesses and more importantly cultures to a degree unseen in other media industries, especially in regard to US popular culture. The particularities of the video game industry and culture can be recognized in the transnational corporations that contribute to its formation and development; in the global audience for its products; and in the complex mixing of format, style and content within games. As an exemplar of this process, the Japanese game publisher Square Enix is the focus of this case study, as it has been successful in contributing to global culture as well as to the digital games industry through its glocal methods. That achievement by a non-Western corporation is indicative of the hybridization of the digital games industry, and it is examined here as one indicator of the complexities and challenges, as well as future potentials, of global media culture.Pikbesttelah menemukan 5342 templat hebat powerpoint Budaya Indonesia gratis. Lebih banyak animasi ppt tentang Budaya Indonesia Unduh gratis untuk penggunaan komersial,Silakan kunjungi PIKBEST.COM Ikuti Pikbest.
Source publicationIdentitas budaya lokal pada suatu negara mempengaruhi bagaimana bentuk dari karya animasi di negara tersebut. Jepang sendiri memiliki 14 kategori budaya dan Malaysia memiliki 13 kategori pada karya animasi mereka. Hal tersebut membuat karya animasi mereka memiliki ciri khas dimata penonton animasi. Di Indonesia sendiri hal tersebut masih belum terp...Abstrak. Jagung merupakan tanaman multifungsi, tetapi di Indonesia lebih banyak dimanfaatkan untuk bahan pakan ternak. Kelangkaan komoditas ini di pasaran berefek ganda terhadap industri pakan, harga pakan dan harga ayam potong dan telur. Kebijakan Pemerintah melarang impor jagung dan mengekspor 3,0 juta ton jagung ke Malaysia perlu didukung secara... Ernawati SinagaDi Indonesia, ikan marga Channa ini banyak ditemukan di Pulau Kalimantan dan Sumatera, namun juga dapat ditemukan di pulau Jawa, Sulawesi dan Papua. Di Indonesia paling tidak telah dilaporkan keberadaan 8 jenis ikan marga Channa, yaitu Channa striata ikan gabus, Channa micropeltes ikan toman, Channa lucius ikan bujuk, Channa pleurophthalmus ...Buku ini merupakan hasil penelitian yang dimaksudkan untuk memahami fenomena sosial budaya di kawasan perbatasan antar negara. Kajian ini menjadikan Dayak Bidayuh di Perbatasan negara Indonesia dan Malaysia sebagai objek kajian. Di Indonesia terdapat Bidayuh Sontas yang merupakan asal nenek moyang Bidayuh Entubuh yang ada di Malaysia. Bidayuh Sonta...Hutan kerangas merupakan habitat yang paling bagus untuk jenis-jenis anggrek yang ada di Kalimantan dan sangat beragam. Kerapatan tajuk tinggi dengan pertumbuhan sangat lambat membuat lingkungan yang diciptakan hutan kerangas menjadi sangat unik. Ditemukan banyak jenis endemic yang tumbuh di kawasan tersebut. Hutan Kerangas adalah hutan peralih...... Indonesia offers many opportunities to use local culture's potential in producing Indonesian animation Sugihartono, 2018. Wikayanto et al. 2019 define that local cultural identity in a country affects how the form of animation works in that country. The greatest idea is to make an animation based on traditional arts characteristics. ... Tira Nur FitriaIndonesia offers many opportunities to use local culture’s potential in producing Indonesian animation. The greatest idea is to make an animation that is based on the characteristics of traditional or local arts from each region. This research analyzes the Indonesian local cultures inserted in the animation series Si Aa’ created by RANS Animation Studio. This research uses descriptive qualitative research. The documents are taken from 9 videos of the animation series “Si Aa” released in 2020 and 2021. The result analysis shows that there are 12 examples of Indonesian local culture in Si Aa” animation series such as 1 Inserting a local language “Sundanese”, 2 Inserting local story folklore of Timun Emas, 3 Inserting regional Dance “Jaipong”, 4 Inserting regional musical instruments “Angklung”. 5 Inserting regional music instrument “Gamelan”. 6 Telling an Indonesian national hero “Kapitan Pattimura”. 7 Showing a palace building “Keraton”. 8 Inserting regional performing arts “Wayang Suket”. 9 Inserting regional Performing Arts “Ondel-ondel”. 10 Inserting traditional game “Gangsing”, 11 Inserting local handicraft “Tenun”, 12 Showing tourism place destination in Maluku, 13 Inserting local custom “Tandur”. Through animation, the creator conveys the local culture by recognizing and appreciating an Indonesian identity in their work. Initially, culture-based animation served simply as a means of Indonesian cultural preservation.... Penampilan karakter EI animasi sel-sel emosional yang lebih beragam muncul pada drama asal Korea Selatan Yumi's Cells 2021. Sehingga karakter animasi EI pada Film Inside Out dan Drama Yumi's Cells memberikan gambaran berbeda tentang interaksi simbolik komunikasi intrapersonal dan interpersonal seseorang lewat animasi sel-sel emosional dalam otak, yang tampilan visualnya disesuaikan dengan identitas dan representasi budaya masing-masing kreator Wikayanto et al., 2019. ...... . Dalam jurnalnya,Wikayanto et al. 2019 berpendapat, identitas budaya lokal bisa menjadi ciri khas animasi para kreator agar membentuk persepsi di benak penonton tentang identitas budaya lokal. Narasi fiktif dalam animasi bisa terdiri dari ide, karakter, setting, storyboard, komposisi, teknik dan warna, yang memberikan representasi visual berdasarkan logika storytelling atau mendongengBuehring & Vittachi, 2020. ...Prima VirginiaAnimasi tidak lagi sekedar menampilkan karikatur lucu berteknologi 3D, tapi juga karakter yang biasanya sulit dilihat kasat mata, yakni Emotional Intelligence atau kecerdasan emosional yang digambarkan di film animasi Inside Out dan drama Korea Selatan Yumi’s Cells. Karakter animasi kecerdasan emosional yang menghuni otak manusia mampu divisualisasikan saling berkomunikasi dan berinteraksi sehingga merepresentasikan konsep teori Interaksionisme Simbolik. Penelitian kualitatif dengan pendekatan analisis percakapan ini menawarkan hal baru tentang hubungan dan urutan proses terbentuknya komunikasi interaksionisme simbolik dari tiga konsep dalam teori interaksionisme simbolik dari dua versi yakni George Herbert Mead dan Herbert Blummer melalui interaksi karakter animasi dalam film Inside Out dan drama Yumi’s Cells. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakter animasi sel kecerdasan emosional yang digambarkan pada film Inside Out dan drama Yumi’s Cells mampu mendominasi representasi konsep interaksionis simbolik dengan memberikan visualisasi perasan dan emosi. Animation is not only about the presentation of 3D caricatures but also about something beyond the scope of aesthetics, such as Emotional Intelligence which is portrayed in the animated film Inside Out and South Korean drama series Yumi’s Cells. The animated emotional intelligence characters who lives inside the human brain’ are visualized as communicating and interacting with each other, representing the concept of Symbolic Interactionism Theory. This qualitative research, with a conversation analysis approach, offered a new point about the relationship and sequence process in the formation of three concepts in symbolic interactionism theory from George Herbert Mead and Herbert Blummer through the interactions of the animated characters in the film Inside Out and drama Yumi’s Cells. The results of the study showed that the characters of animated cells with emotional intelligence in the animated films Inside Out and Yumi's Cells could dominate the representation of the symbolic interactionist concepts by visualizing emotions and feelings.... Cultural representation is manifested in daily life, religion, ethnicity, and nationality. This representation can be realized in the form of digital animation to convey a cultural reflection of the local society in an area Wikayanto, Grahita, & Darmawan, 2019. Internet speed has also supported interactive acceleration and access to local society and the world. ... Ferric LimanoThe research aimed to save the traditional Balinese Barong dance motion patterns and convert them into digital animation. Using the mask was a uniqueness and as one of the characteristics of the traditional dance. Some problems arose in today's global situation the challenge of eroding local society cultures to be replaced by global cultures. Another factor was the new generation, who loved technology and digitization. The research showed how to make traditional art that had recommendations in new digital media 3D animation. This was necessary to increase interest for the new generation about traditional culture and the creation of digital archives that were easily accessible to learn and develop in this traditional culture. The method was applied qualitatively through approach practice-led research by making experimental data on the dance motion pattern of the head of Barong Bali. Then observations were made and described in animation science, resulting in an academic understanding of motion and 3D digital media production. The results of the research consist of Barong Bali motion pattern in 3D, descriptive explanation of movement patterns, and the process of creating 3D animation digital archives. All of this is expected as recommendations for ways to produce digital archives 3D Animation of another Indonesian traditional culture.... Animation is an effort in creativity to move a thing, a picture, or a painting, and made as if it was alive as in daily basis [17]. Along with the media and technology development, the process of making and recording animation objects can be obtained in various ways, thus bringing out various animations based on how it works. ...... All the technics and fundamentals in the making of the animation has starting to develop, so it could bring out the motion illusion of a character based on the physics law and also make the character look alive in the animation world. Based on the technical making, animations can be grouped into the following the first, traditional animation, also called as hand-drawing animation to make motion illusion which process has been done since the twentieth century [17]. The second, "stop-motion" animation, is used to describe an animation made by manipulating a real object made of clay, plastic, or any other materials, by taking all the picture frames one-by-one and then rejoined them to make the motion illusion. ... Yana ErlyanaCurrently, the development of technology today greatly affects the development of children. The ease of access to the internet via smartphones or gadgets makes children increasingly dependent on the internet. Seeing this phenomenon, an educational media for early childhood must have an appropriate strategy in providing educational materials. The development of animation is currently running very fast in various fields. Animation is well known in the field of film, especially in the world of children, for example, films. An animated film is known to provide lessons to children who watch it. This research is a continuation of previous research on an educational video design about urban gardening, with that result this follow-up research is a descriptive qualitative study with a swot analysis approach with the aim of seeing the accuracy of the strategy in designing animation for early childhood learning medium. The results showed that an animation can be an appropriate educational media to attract children's learning interest, this is more precisely because of the use of motion pictures and audio that are adapted to the child's age. The limitation of this research is that there is a need for quantitative calculations to support the results of previous research. .